Dari Abu Dzar (dalam riwayat lain,
dari Mu’adz ibn Jabal), bahwa Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ
وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَن
“ (1)Bertakwalah kamu dimanapun kamu
berada, (2) bila kamu berbuat kejahatan, segera iringi dengan perbuatan baik,
sehingga dosamu terhapus, (3) lalu pergaulilah manusia dengan akhlaq yang
baik.”
(HR. Tirmidzi nomor 1910; dihasankan
Syaikh Al Albani dalam Al Misykah nomor 5083, Ar Raudlun Nadhir nomor 855,
Shahih wadl Dhaif Sunan At Tirmidzi, 4/487)
Ada tiga wasiat dalam hadits
tersebut;
1. Wasiat untuk bertakwa kepada
Allah
2. Wasiat untuk senantiasa bertaubat kepadaNya
3. Wasiat untuk berakhlak baik kepada manusia
2. Wasiat untuk senantiasa bertaubat kepadaNya
3. Wasiat untuk berakhlak baik kepada manusia
1.
Wasiat Takwa
Apa
itu Takwa?
Amirul Mukminin Umar bin Al Khothob
pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa.
Ubay lantas balik bertanya:
“Wahai amirul mukminin, Apakah
engkau pernah melewati jalanan penuh duri? ”
Beliau menjawab: “Ya.”
Ubay berkata lagi:
“Apa yang engkau lakukan?”
‘Umar menjawab:
“Aku akan menelitinya dengan seksama
dan aku akan melihat tempat berpijak kedua telapak kakiku. Aku majukan satu
kaki dan mundurkan yang lainnya khawatir terkena duri. ”
Ubay menyatakan: Itulah takwa.
(Al Jaami’ Liahkam Al Qur’an karya
Al Qurthubi 1/162)
Amirul Mukminin ‘Umar bin Al Khothob
pernah berkata:
“Tidak sampai seorang hamba kepada
hakekat takwa hingga meninggalkan keraguan yang ada dihatinya.”
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Tholib
pernah ditanya tentang takwa, lalu beliau menjawab:
“Takut kepada Allah, beramal dengan
wahyu (Al Qur’an dan Sunnah) dan ridho dengan sedikit serta bersiap-siap untuk
menhadapi hari kiamat.”
Sahabat Ibnu Abas menyatakan:
“Orang yang bertakwa adalah orang
yang takut dari Allah dan siksaanNya.”
Thalq bin Habib rahimahullah
berkata,
“Takwa adalah kamu melakukan
ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari
Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari
Allah karena takut hukuman Allah.”
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211
cet Dar al-Hadits 1418 H)
‘Umar bin ‘Abdil Aziz berkata:
“Ketakwaan kepada Allah bukan
sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara
keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala
yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang
siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah
kebaikan di atas kebaikan.”
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal.
211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu
dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada
Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan
(baca: bid’ah).
Ketakwaan kepada Allah itu dituntut
di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan
selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian
atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang
(lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424
H)
Imam Ar-Raghib Al-Asfahani
mendenifisikan :
“Taqwa yaitu menjaga jiwa dari
perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang
dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”
[Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal
531]
Sedangkan Imam An-Nawawi
mendenifisikan taqwa dengan
“Menta’ati perintah dan
laranganNya”.
Maksudnya menjaga diri dari
kemurkaan dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala
[Tahriru AlFazhil Tanbih, hal 322].
Hal itu sebagaimana didefinisikan
oleh Imam Al-Jurjani
“ Taqwa yaitu menjaga diri dari
siksa Allah dengan menta’atiNya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang
mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya”
[Kitabut Ta’rifat, hl.68]
Karena itu siapa yang tidak menjaga
dirinya dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang yang bertaqwa. Maka
orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau
mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, (–menggerakkan
lisannya untuk sesuatu yang dibenci Allah–) atau mengambil (–sesuatu atau
melakukan sesuatu–) dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai Allah, atau
berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti ia tidak menjaga dirinya dari
dosa.
Jadi, orang yang membangkang
perintah Allah serta melakukan apa yang dilarangNya, dia bukan termasuk
orang-orang yang bertaqwa
Orang yang menceburkan diri kedalam
maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah
mengelurakan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.
[Disalin almanhaj.or.id dari buku
Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki
Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah hal 19-27]
Derajat
takwa yang tertinggi
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat
ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang
disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu
saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal.
211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pentingnya
takwa
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya.
Oleh sebab itu Allah memerintahkan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(yang artinya), “Bertakwalah kepada
Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang
disediakan bagi orang-orang kafir.”
(QS. Ali Imron: 130-131)
(Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164]
cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Cara menjaga diri dari api neraka
adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke
dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam
tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang
tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk
sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya
di dalam neraka.
Oleh sebab itu, meninggalkan
kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari
kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan
akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya
rahmat bagi mereka
(Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164]
cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Siapakah orang yang bertakwa?
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan
riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang
orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab,
“Mereka adalah suatu kaum yang
menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan
ibadah mereka hanya untuk Allah.”
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal.
211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
al-Hasan mengatakan,
“Orang-orang yang bertakwa adalah
orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka
dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.”
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal.
211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Rukun
Takwa
1. Ilmu
Abu Darda radiyallahu’anhu berkata,
“Kamu selamanya tidak akan menjadi
orang yang bertakwa sampai kamu berilmu, dan ilmu tersebut tidak akan
menjadikanmu baik sampai kamu mengamalkannya”
Mu’adz bin Jabal mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ
تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan
amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan
Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Ulama hadits terkemuka, yakni Al
Bukhari berkata,
باب : العلم قبل و العمل
“Baab: Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal
‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”.
Perkataan ini merupakan kesimpulan
yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)!
Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu”
(QS. Muhammad [47]: 19).
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah
perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah
amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan
ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh
Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar
Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan,
“Tidakkah engkau mendengar bahwa
Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?”
(Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan,
“Amalan yang bermanfaat adalah
amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya
tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat
ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen).
Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena
diangkat dari dirinya.“
(Syarh Al Bukhari libni Baththol,
1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata,
“Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari
bahwa ilmu adalah syarat diterimabenarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu
perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih
dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena
ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”
(Fathul Bari, 1/108)
Imam Ibnu Rajab rahimahulloh
mengatakan,
“Pokok ilmu adalah pengetahuan
terhadap Allah Ta’ala yang mendatangkan rasa takut dan cinta kepada-Nya, serta
selalu mendekat dan rindu kepada-Nya. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang
hukum-hukum Allah Ta’ala dan segala apa yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala
dari hamba-Nya berupa perkataan, perbuatan, keadaan maupun keyakinan. Siapa
saja yang terwujud dua ilmu ini pada dirinya maka ilmunya adalah ilmu yang
bermanfaat. Ia memperoleh ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang
merasa puas dan do’a yang didengar”
Mungkinkah seorang yang bertakwa
tapi tidak memiliki ilmu?! Dari mana seseorang mengetahui perintah dan larangan
Allah Ta’ala kalau dia tidak menuntut ilmu?! Sebuah kemustahilan seseorang bisa
mewujudkan penghambaan dirinya kepada Allah Ta’ala secara sempurna jika dia
tidak memiliki ilmu tentangnya.
Jelaslah bagi kita ilmu merupakan
syarat mutlak menggapai ketakwaan yang sebenarnya.
2. Ikhlash
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan harus
disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung
pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.”
(HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi,
hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab
al-Imarah, hadits no. 1907])
al-Imam an-Nawawiy berkata:
Hadits yang mulia ini menunjukkan
bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik,
maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek
(Syarh Arba’in li an-Nawawi,
sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
mengatakan,
“Bukhari mengawali kitab Sahihnya
[Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah
[pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan
bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah
maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di
akhirat.”
(Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
Hadits ini juga merupakan dalil yang
menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya.
Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak
disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu
tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya
(Fath al-Bari [1/22]).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili
hafizhahullah mengatakan,
“Ikhlas dalam beramal karena Allah
ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan
pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala,
sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal
merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.”
(Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab
Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
3. Mutaba’ah
Allah ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, sekali-kali
mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikanmu (hai Muhammad) sebagai hakim
di dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati rasa berat di dalam hati mereka, dan mereka pun pasrah dengan
sepenuhnya.”
(QS. an-Nisa’: 65)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah layak bagi seorang yang
beriman, lelaki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan
suatu perkara ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan
mereka. Barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya
dia telah sesat dengan kesesatan yang amat nyata.”
(QS. al-Ahzab: 36)
Allah ta’ala berfirman mengenai
Nabi-Nya,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Tidaklah dia -Muhammad- berbicara
dengan memperturutkan hawa nafsunya, akan tetapi apa yang disampaikannya
hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
(QS. an-Najm: 3-4)
Oleh karena itu, Allah ta’ala
menyatakan,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ
أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa taat kepada Rasul itu
maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.”
(QS. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala juga memerintahkan,
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang dibawa oleh rasul
maka ambillah (laksanakan) dan apa saja yang dilarangnya kepada kalian maka
tinggalkanlah.”
(QS. al-Hasyr: 7)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ
وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang telah aku larang untukmu
maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan
sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka
banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.”
(HR. Muslim)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ
اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
Barang siapa yang taat kepadaku
berarti dia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku
berarti dia telah bermaksiat kepada Allah.
(HR. Bukhariy)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa
kepada Allah, mendengar dan taat (–kepada penguasa dalam hal kebaikan–) walau
kepada budak dari Habasyah. Sungguh siapa yang hidup di antara kalian akan
melihat perselisihan yang banyak. Berpeganglah dengan sunahku dan sunah
Khulafa’ Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kalian dengan gigi geraham.
Hindarilah kalian hal-hal yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah
bid’ah dan setiap bid’ah ada sesat.”
(HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud
(no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam
kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati
oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat perkara baru
dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak”.
(HR. Bukhariy)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak ada dasar dari kami maka amalan itu tertolak.”
(HR. Muslim)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
berkata tentang firman Allah Ta’ala,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menciptakan mati dan hidup
untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”. (al-Mulk: 2)
“Bahwa amal yang terbaik adalah amal
yang paling ikhlas dan benar.” Kemudian orang-orang bertanya kepada beliau,
“wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan amal yang paling ikhlas dan benar?”.
Beliau menjawab, “Sesungguhnya sebuah amal jika ikhlas tetapi tidak benar, maka
amal tersebut tidak akan diterima, dan jika amal tersebut benar tetapi tidak
ikhlas, maka tidak akan diterima pula. Amal tersebut akan diterima jika benar
dan ikhlas. Ikhlash artinya hanya untuk Allah Ta’ala, sedangkan benar artinya
sesuai dengan sunnah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menggapai
takwa yang hakiki
Demikianlah, ketiga rukun takwa yang
mana jika seseorang memenuhi ketiganya maka diharapkan ia mendapatkan takwa
yang hakiki.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا
بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak
bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah
dengan hati yang selamat.”
(QS. as-Syu’ara: 88-89).
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan,
“Pengertian paling lengkap tentang
makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat
yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala
macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati
semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan
terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…”
(Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet.
Dar Thaibah).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan,
“Hati yang selamat artinya yang
bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus
dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang
disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya.
Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan
itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan
Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.”
(Taisir al-Karim ar-Rahman hal.
592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Maka, ketakwaan yang sejati hanya
akan diperoleh dengan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Tunduk beribadah
dengan ikhlas kepada Allah, dan mengikatkan diri dengan syari’at dan petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan
menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara
seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu
dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan
pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya kehidupan yang membawa
manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya.
Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan
mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun
sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya
antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun.
Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki
dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan
rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar
hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah
orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup.
Oleh karena itulah maka orang yang
paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam
memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya
di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati.
Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah
kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih
terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar
al-’Aqidah)
Sehingga yang menjadi syi’ar dan
slogan orang-orang yang beriman adalah ‘sami’na wa atha’na’ (kami dengar dan
kami taat) kepada perintah Allåh dan RåsulNya. Sebab mereka menyadari bahwa
dengan sikap seperti itulah hidup mereka menjadi benar-benar berarti.
Allah ta’ala berfirman tentang
mereka,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang
yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar
rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah,
‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. an-Nur: 51)
Inilah sikap seorang mukmin. Dia
akan senantiasa mendengar dan menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Baik hal
itu sesuai dengan hawa nafsunya atau tidak. Orang-orang seperti itu sajalah
yang akan bisa mendapatkan keberuntungan.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata,
“Tidak akan beruntung kecuali orang
yang menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai hakim/pemutus perkara -di antara
mereka- dan tidak akan beruntung selain orang-orang yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya.”
(Taisir al-Karim ar-Rahman [2/781]
cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Akar
ketakwaan
Pokok dan akar ketakwaan itu
tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Pada hakikatnya ketakwaan yang
sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan
anggota tubuh.
Allah ta’ala berfirman:
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Yang demikian itu dikarenakan
barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua
muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.”
(QS. al-Hajj: 32).
Allah juga berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا
وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
“Tidak akan sampai kepada Allah
daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai
kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.”
(QS. al-Hajj: 37).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
التَّقْوَى هَاهُنَا
“Ketakwaan itu (sumbernya) di sini.”
Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya
(HR. Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu).”
(al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar
al-’Aqidah 1425 H).
Namun, perlu diingat bahwa hal itu
bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata:
“Petunjuk yang paling sempurna
adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau
adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin-
dengan sebaik-baiknya.
Meskipun beliau adalah orang yang
memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan
pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa
mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak.
Bahkan beliau juga rajin berpuasa,
sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun
berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan
tidak menutup diri dari mereka.
Beliau sama sekali tidak pernah
meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang
seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk
melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau
lakukan.
Allah ta’ala memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku
lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan
hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak
akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…”
(al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar
al-’Aqidah 1425 H).
Faktor
pendorong ketakwaan
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah
adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu
mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya
(Syarh al-Arba’in, yang dicetak
dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj
al-I’lami)