“Bagaimana kalau dari tangan?” Musa
menjawab, “Duhai utusan Allah, lupakah engkau bahwa tangan ini pernah menerima
lembaran syahifah suci yang berisikan firman-Nya?”
“Bagaimana kalau dari kepala?,”
pinta Malaikat Maut. “Yaa Rabbul Izzati. Malaikat-Mu hendak mencabut nyawa
hamba-Mu dari kepala ini. Padahal sepanjang hidup hamba menggunakannya untuk
bersujud kepada-Mu?”.
Karena tidak ada jalan lain Malaikat
Maut mengambil selembar kulit jeruk yang harum baunya. “Wahai Musa, hiruplah
aroma kulit jeruk ini,” perintah Malaikat Maut. Begitu aroma kulit jeruk ini
terhisap, Nabi yang mulia ini pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Menurut sebuah atsar, kematian Nabi
Musa adalah kematian paling mudah di antara semua manusia. Namun sadarkah kita
apa makna “mudah” dalam proses kematian beliau? Rasulullah saw. bersabda,
“Kematian Nabi Musa kadar kegetirannya sama dengan penderitaan seseorang yang
ditebas sebilah pedang yang sangat tajam sebanyak 300 kali”. Dalam riwayat lain
disebutkan, kematian Nabi Musa itu bagaikan seekor domba dalam keadaan segar
bugar lalu dicabut kulitnya dalam keadaan hidup. ‘Aisyah binti Abu Bakar
mengungkapkan pula, “Ibarat pentungan besi bergerigi yang ditancapkan ke perut,
lalu ditarik dengan sangat keras dengan sekuat tenaga. Tak adakah bagian yang
ikut terbawa pentungan itu?”
“Sakaratul
maut adalah ungkapan tentang rasa sakit
yang
menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa,
sehingga
tak ada satu bagian pun yang terbebas dari rasa sakit itu”.
—
Abu Hamid Al Ghazali —
Jika kematian Nabi Musa demikian
dahsyat dan menyakitkan, apalagi kematian kita—manusia biasa yang lebih banyak
dosanya daripada kebaikannya—tampaknya akan jauh lebih menyakitkan! Semoga
Allah Yang Maha Penyayang melindungi kita. Karena itu, pantas apabila Rasulullah
saw. mencontohkan beberapa doa yang isinya meminta agar Allah Swt. mempermudah
proses sakaratul maut kita. Salah satu di antaranya adalah ”Allâhumma innî
as’aluka taubatan nashûhâ wa taubatan qablal maût wa rahmatan ’indal maût wa
maghfiratan wa rahmatan ba’dal maût wal ’afwa indal hisâb … ” Artinya, ”Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu tobat nasuha dan tobat sebelum mati, ketenangan
(kemudahan) ketika hendak mati (sakaratul maut), ampunan dan ketenangan setelah
mati, dan ampunan ketika dihisab …”.
Dari sini kita bisa melihat bahwa
doa bisa mempermudah proses dan meringankan proses sakaratul maut. Akan tetapi,
doa pun bisa memperberat dan mempersulit proses sakaratul maut. Doa siapa dan
bagaimana? Itulah doa dan rintihan serta air mata orang-orang yang terzalimi.
Seseorang yang banyak menzalimi orang lain, biasanya akan dipersulit proses
kematiannya. Kisah-kisah berikut mudah-mudahan bisa menjadi contoh sekaligus ibrah
atau pelajaran bagi kita.
Ketika masih SMP, saya bertetangga
dengan seorang kakek kaya raya. Di kampung kami ia termasuk salah seorang
terpandang, tanahnya luas, rumahnya bagus, dan uangnya banyak. Kakek itu pun
pintar bicara dan berdebat. Namun, di balik itu, menurut orangtua dan
orang-orang sekampung, dia termasuk orang licik dan kejam. Entah berapa banyak
orang yang tersakiti dan dijerumuskan olehnya. Kakek itu merupakan pentolan PKI
yang dulu melarikan diri ke kampung kami. Dia datang sebagai buronan tentara.
Akan tetapi, karena kepintaran dan kelicikannya, alih-alih ditangkap ia malah
menjadi orang kaya dan berpengaruh di kampung kami. Sebagian tanah warga
berhasil ia ambil alih kepemilikannya.
Pada masa tuanya, ia mengidap
penyakit sesak napas akut. Setiap kali bernafas, desah napasnya begitu berat
dan suara lendir di kerongkongannya jelas terdengar. Dari jarak cukup jauh,
seseorang sudah bisa mendengar desah nafasnya. Hal itu terjadi bertahun-tahun
lamanya. Ia sudah merobat ke mana-mana tapi tak juga sembuh. Ketika itu saya
membayangkan betapa tersiksanya hidup dengan napas seperti itu. Walaupun
demikian, sifatnya tetap keras, tidak mau kalah, dan seakan tidak mau bertobat.
Saat-saat menjelang ajalnya,
penderitaannya pun bertambah berat. Berhari-hari lamanya Malaikat Maut seakan
”mempermainkan” orangtua ini, hingga akhirnya ia wafat dengan cara yang
”menakutkan”. Ia meronta-ronta dan berdesah berat seperti seekor binatang yang
hendak disembelih, sebelum akhirnya diam lunglai karena nyawa telah lepas dari
badannya.
Ada lagi seorang lelaki tua, usianya
sekitar 65-70 tahun. Badannya kekar dengan muka yang kaku. Walau terlihat baik
dengan tetangga, tapi bapak ini sangat mengacuhkan istri dan anak-anaknya. Ia
tak segan-segan menempeleng, menendang, memaki-maki dan menyiksa istrinya. Ia
seakan tak peduli dengan tangisan ibu dari anak-anaknya tersebut. Selain
menyakiti secara fisik, ia pun senang sekali menyakiti secara psikologis dengan
llebih mempedulikan istri mudanya daripada istri tuanya. Bapak ini pun dikenal
memiliki ilmu hitam yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mencelakakan orang
lain.
Saat-saat menjelang kematiannya
sangat mengerikan. Entah karena sakit, ia mengamuk, memukul, mengucapkan
kata-kata kasar dan makian, serta melemparkan apa saja yang ada di dekatnya.
Karena kewalahan, anak-anaknya menyekap dia di kamar hingga akhirnya meninggal
keesokan harinya. Semoga Allah melindungi kita dari kematiaan semacam itu.
“Jangan
menunda-nunda tanpa melakukan persiapan untuk kematian.
Umur
kita terlalu singkat. Jadikanlah setiap tarikan napas
sebagai
udara terakhir yang kita hirup.
Lalu
kematian akan menjemput.
Kematian
seseorang akan terjadi dalam keadaan
di
mana ia biasa melakukan sesuatu ketika hidup.
Dan
ketika dibangkitkan di akhirat,
ia
pun akan dibangkitkan dalam situasi itu juga”.
—
Ibnu Qudamah Al Maqdisi —
Subhanallah,walhamdulillah,walaaillahaillaallah,wallahuakbar,walahawwakuatailabillahhialilazim,,,semoga kita termsuk orang2 beriman,dn kembali kpd sang haliq dlm keadaan khusnul hotimah,,amin.
BalasHapus